Pelaksanaan imunisasi dengan menggunakan vaksin Measles dan Rubela (MR) serentak di Indonesia, termasuk di Lampung, menuai pro dan kotra.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Lampung meminta pemerintah menyetop dulu proses imunisasi secara massal tersebut.
MUI Lampung juga meminta dinas terkait untuk menjadwalkan ulang program imunisasi tersebut untuk mengatasi penyakit campak Measles dan Rubela yang telah dimulai sejak Rabu (1/8) kemarin.
Ketua MUI Lampung, KH Khairuddin Tahmid, mengatakan, pertimbangan penangguhan ini karena banyaknya pertanyaan masyarakat terkait kehalalan vaksin MR yang diproduksi di India itu. Selain itu, vaksin MR yang digunakan belum mendapatkan sertifikat halal dari MUI.
Menurut Khairuddin, keputusan ini juga merupakan hasil tabayun (konsultasi) pengurus ke Komisi Fatwa MUI Lampung yang menyatakan bahwa benar vaksin MR belum mendapatkan sertifikasi halal dari LPPOM-MUI.
“Setelah sertifikat halal terbit, kami siap mendukung program tersebut dengan jadwal yang ditentukan selanjutnya,” kata Khairuddin.
Imunisasi digelar serentak di Indonesia, termasuk di Lampung. Sasaran imunisasi ini adalah anak usia 9 bulan sampai 15 tahun. Imunisasi digelar di sekolah-sekolah mulai dari tingkat PAUD, SD, hingga SMP.
Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung KH Munawir mengingatkan pemerintah untuk segera mengimplementasikan keharusan sertifikasi halal seluruh vaksin yang digunakan, termasuk vaksin MR.
“Pihak produsen vaksin juga wajib mengupayakan produksi vaksin MR yang halal dan melakukan sertifikasi halal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegasnya.
Menurut dia, selama vaksin MR belum dikaji oleh LPPOM MUI dan belum jelas kehalalannya, maka tidak boleh digunakan.
Ia menegaskan jika ada barang yang terindikasi haram untuk digunakan atau dikonsumsi, maka tidak boleh digunakan.
“Jangan pakai vaksin MR jika belum jelas kehalalannya. Sesuatu yang belum jelas halalnya berarti haram dan sesuatu yang belum jelas haramnya berarti halal,” tegasnya.
Dari Jakarta dilaporkan, MUI Pusat mengirimkan surat kepada Kementerian Kesehatan agar menunda pemberian vaksin MR.
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan MUI, KH Cholil Nafis, mengatakan, MUI ingin agar Kemenkes melakukan sertifikasi halal terlebih dahulu.
Sementara itu, MUI Kepri mengeluarkan surat edaran tertanggal 28 Juli 2018 berisi penundaan vaksin MR karena belum bersertifikat halal.
Sedang Dibahas
Menanggapi permintaan MUI ini, pihak Dinas Kesehatan (Diskes) Lampung menyatakan, hal tersebut masih dirapatkan di level pimpinan di Bumi Ruwa Jurai ini.
“Jika memang ada perbedaan pandangan, mari kita diskusikan. Sebab, tahun kemarin saat pelaksanaan imunisasi tahap pertama di Jawa dan Bali, tidak ada masalah. Ini merupakan agenda nasional. Tahun ini digelar di luar Jawa,” jelas Humas Diskes Lampung, Asih Hendrastuti.
Menurut dia, pihak Kementerian Kesehatan juga sedang berproses mencari jalan keluar terbaik soal itu.
Saat ditanya apakah imunisasi akan tetap dilaksanakan di Lampung, Asih mengatakan, imunisasi MR akan tetap lanjut.
Namun, bagi orangtua yang ragu, bisa menunggu. Bagi orangtua yang tidak ragu, pihaknya akan melayani.
Asih meneruskan, pemberian imunisasi ini penting karena campak dan rubella adalah penyakit menular dan tidak ada obatnya hingga saat ini.
“Jadi penyakit campak dan rubela ini tidak bisa diobati. Pengobatan yang diberikan kepada penderita hanya bersifat suportif. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi,” ujarnya.
Asih juga menambahkan, imunisasi ini aman. Ada beberapa dampaknya usai imunisasi seperti deman dan bintik-bintik.
Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan pemberian obat penurun panas (deman) dan pemberian bedak (bintik-bintik). Tapi, kata Asih, prevalensi efek samping ini sangat rendah.
Diskes juga telah menyiapkan Komite Daerah KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) untuk meneliti kejadian ikutan pasca imunisasi. Nantinya, komite akan meneliti apakah suatu penyakit berdiri sendiri atau seperti apa.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek juga merespons soal pro kontra kehalalan imunisasi MR. Dia mengatakan, MUI belum pernah melarang penggunaan vaksin oleh tenaga medis.
Dalam dunia kesehatan, lanjut Menteri Nila, pihaknya mengacu pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi.
“Saya kira tidak menolak, karena sudah ada fatwa dari MUI Nomor 4/2016 yang menyatakan bahwa untuk pengobatan diperbolehkan,” tegas Menkes Nila di Makassar, Rabu (1/8).
Sumber: tribunnews.com